Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144 - 145
Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144 – 145 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan RodjaTV pada Selasa, 22 Jumadal Awwal 1440 H / 29 Januari 2019 M.
Kajian Tafsir Al-Quran: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144 – 145
Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّـهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 144)
Sebagaimana sudah kita sebutkan kemarin, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika diperintahkan untuk menghadap ke Baitul Maqdis, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat berharap supaya kiblat dikembalikan lagi ke Ka’bah. Karena itu adalah merupakan kiblatnya Nabi Ibrahim ‘Alaihish Shalatu was Salam.
Rasulullah sering melihat ke langit berharap wahyu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah turunkan ayat ini. Dimana saja kalian berada maka hendaknya kamu ketika shalat menghadap ke kiblat.
Yang dimaksud dengan Al-Kitab di sini adalah Taurat dan Injil. Yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mereka orang Yahudi orang Nasrani juga yakin. Namun sudah kita sebutkan bahwa yang menyebabkan mereka tidak mau beriman adalah kedengkian. Hati mereka dengki. Karena dengki itulah akhirnya mereka tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Allah tidak akan lalai dari perbuatan mereka. Ini sebagai ancaman karena Allah tidak akan melalaikan dan tidak lupa terhadap perbuatan mereka. Kelak suatu ketika Allah pasti berikan kepada mereka pembalasan akibat dari pada perbuatan buruk mereka.
Kata Syaikh Utsaimin Rahimahullah diantara faidah ayat ini:
Pertama, penetapan sifat bahwa Allah melihat. Allah mengatakan, “Sungguh Kami (sering) melihat.” Berarti Allah mempunyai sifat melihat dengan mata. Ahlus Sunnah wal Jama’ah punya keyakinan bahwa Allah punya dua mata.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih dan itu mutawatir. Disebutkan pula dalam ayat-ayat. Disebutkan dalam hadits:
أَلاَ إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ
“Ketahuilah Dajjal itu buta sebelah dan Rabb kalian tidak buta sebelah.” (HR. Bukhari).
Berarti itu menunjukkan kalau Allah punya mata tidak? Tentu kita tidak boleh membayangkan bagaimana bentuk mata Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah yang Maha Tahu. Tetapkan saja Allah punya mata, selesai. Bagaimana bentuknya hanya Allah yang Maha Tahu. Tidak boleh kita menyamakan mata Allah denga mata makhlukNya. Karena Allah mengatakan:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴿١١﴾
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura[42]: 11)
Artinya melihatnya Allah melihatnya makhluk. Maka mata Allah tidak sama dengan mata makhluk.
Kedua, bahwa melihat ke langit tidak termasuk adab yang buruk terhadap Allah. Buktinya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di sini sering kali melihat ke langit berharap wahyu turun supaya dipindahkan kiblat. Dikecualikan dalam shalat. Adapun didalam shalat memang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang. Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي الصَّلَاةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Hendaklah kaum-kaum itu berhenti dari melihat ke langit di saat shalat atau Allah akan ambil penglihatan mereka.” (HR. Muslim)
Syaikh Utsaimin mengatakan bahwa kalau ada orang yang shalat sambil melihat ke langit, shalatnya batal tidak sah. Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan sah tapi ia melakukan dosa besar.
Ketiga, penetapan bahwa Allah itu di atas. Kenapa? Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bolak-balik melihat ke langit berharap diturunkan wahyu. Ketika Rasulullah melihat ke langit berharap diturunkan wahyu, sedangkan wahyu turunnya dari Allah, berarti itu menunjukkan Allah berada di atas.
Ini Keyakinan kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak seperti yang diyakini oleh kaum Asy’ariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, yang mengatakan katanya mustahil Allah berada di atas. Sebab kalau Allah berada di atas berarti Allah berada di tempat, Allah butuh tempat.
Kita katakan, “Omongan itu akibat kamu menyamakan Allah dengan makhluk.” Memang betul kalau makhluk berada di atas ia butuh tempat. Sedangkan Allah tidak serupa dengan makhlukNya. Sekarang bukankah Allah mengatakan:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadr[97]: 1)
Tentu yang namanya turun adalah dari atas ke bawah. Berarti itu menunjukkan bahwa Allah berada di ‘Arsy. Bukan berarti Allah butuh ‘Arsy, tidak. Dan tidak ada konsekuensi bahwa Allah butuh tempat sama sekali. Karena Allah tidak serupa dengan makhluk-makhlukNya, tidak serupa dengan apapun juga.
Keempat, kesempurnaan ibadah Rasul kepada Allah. Dimana beliau sangat ingin menghadap ke Ka’bah. Tapi beliau tidak lakukan karena tidak diperintahkan oleh Allah. Maka Rasul menunggu perintah dari Allah. Rasul tidak berani merubah. Makanya ahli bid’ah itu mengherankan. Rasul saja tidak berani mensyariatkan kecuali ada perintah dari Allah. Sedangkan ahli bid’ah membuat ibadah-ibadah sendiri tanpa ada perintah dari Allah dan RasulNya.
Kalau Rasul saja tidak berani merubah perintah Allah, maka seharusnya kita pun seperti itu. Jangan sampai berani-beraninya membuat suatu ibadah tanpa ada wahyu dari langit. Maka ketika kita beribadah betul-betul menunggu dalil itu menunjukkan kesempurnaan ibadah kita, kesempurnaan penghambaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kalau kita beribadah kemudian membuat cara sendiri, itu menunjukkan kurangnya kesempurnaan penghambaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kelima, penetapan akan kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah menyebutkan dalam ayat itu dengan lafadz “kami”. Dalam bahasa Arab, kata “kami” kalau untuk satu orang menunjukkan kepada pengagungan.
Keenam, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat suka sekali menghadap ke Ka’bah. Karena Allah mengatakan, “فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا”. Makanya ibadah-ibadah kita pun juga usahakan menghadap ke kiblat walaupun tidak disyaratkan harus menghadap kiblat. Kalau shalat syaratnya jelas harus menghadap ke kiblat.
Simak pada menit ke – 13:54
Simak dan Download MP3 Kajian Tafsir Al-Quran: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144 – 145
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46639-tafsir-surat-al-baqarah-ayat-144-145/